Selasa, 22 November 2011

its long...long journey....with my best ...

kuliah di Solo, rumah di kediri. bikin aku suka bolak-balik tiap 2bulan sekali (boong deeeing sebulan sekali ato kadang bisa 2 minggu sekali??emmm tergantung mood kayanya hehehe). buat bisa pulang dibutuhkan waktu 5jam! lumayan lama lah buat tidur, bangun, ngemil, tidur lagi. Dan biasanyaaaa aku selalu naik bis favoritku SUMBER KENCONO!! buat yang belum tahu..ini adalah bis yang sangat terkenal! sangking terkenalnya, sering banget masuk berita ato koran-koran lokal :D
berawal dari coba-coba + uang bulanan menipis aku jadi suka naik bis ekonomi ini! dari suka, ketagihan, dan berakhir fanatik garis keras! udah barang pasti bukan gara-gara sering ada penumpang ganteng, ato mas-mas sopir yang macho hehehe....tapi karena ini bis suka seenak udel (meskipun ga punya udel..nah...magic khan?!). berikut adalah bukti-bukti konkritnya :

1. Sopir-sopirnya sepakat buat jarang nginjek rem!
Entah darimana sopir-sopir itu tau kalau kendaraan lain di jalanan remnya peka bgt! tapi selama pengamatanku mereka selalu optimis, bahwa pengendara lain sangat peduli dengan kecakraman rem!

2.bis hobi nyelip
ini bener-bener magiiiic! dengan body segede ikan paus, gitu berhenti di lampu merah, dia bisa nyelip-nyelip lewat kiri kanan sampe akhirnya kita udah paling depaaaaan......tadaaaaaaa....

3. Bebas tilang
perlu diketahui dua poin diatas dilakukan atas kesadaran penuh dan dimanapun. padahal yang kita tau hobi polisi-polisi adalah beramah tamah dengan pengendara di jalan manapun tanpa diduga-duga pula, ini sama sekali ga kejadian di SUMBER KENCONO!! maka ada 2 kemungkinan sopir-sopirnya emang sakti atau bisnya yang invisible??

4. Jalanku, bukan jalanmu
Meski kedengeran seperti judul sinetro di RCTI, tapi disini sama sekali ga aada hubungannya sama Nikita Willy atau Dokter Prabu. Sungguh! ini adalah prinsip yang sepertinya dipegang teguh sama sopir-sopir SUMBER KENCONO

Dengan keseenakan udelnya inilaaaah niscaya kau akan sampai ditempat tujuan lebih cepat dari yang kau duga-duga..... aku sukaaaaa <3

Lagipula begitu kita masuk ke dalam bis bejubel ini kalau kamu perhatikan ada bermacam-macam orang danprofesi di dalamnya, percakapan basa-basi busuk, sok seru, sok oke yang bisa mengocok perut anda hahahahha.... dan cocok untuk pengamat yang berjiwa nasionalis, karena ini sangaaat Indonesia
Akhirnya begitu sampai, mamah pasti shock, dan langsung ngomel "yaelaaah deeek kok naik itu?khan bahaya"
"naik EKA, Rosalia? mahaaal, duitku udah abis maaaaa"
"mbo ya MIRA -another economy class- khan lebih aman"
"Ga mau ah mah, Mira itu nama mantannya Reyhan - pacar saya dikala ingusan-" ujarku tertohok dan langsung ngeloyor pergi.



nb : nama mantannya pacar itu sangat mempengaruhi kehidupan

ACAKIYEK ACAKIYEK!!!

Salam perdamaian!
akhirnya aku inget passwordnya :D hahahahaha..... udah sempet putus asa,kirain blog ini bakal kaya blog yg lain (ga bisa dibuka lagi gara2 lupa password) but finally.... here Iam!!!

tapi ga punya sesuatu apapun buat di postingin ToT menyedihkaaaaaaan..... skripsi bikin gabisa mikir apa-apa lagi! ada jg cerpen-cerpen yang ngegantung separo tanpa pernah ada akhir. beberapa bulan ini emang isinya Pak Mahfud sama Pak Dwi mulu...ga ada yang lain!!

tapiiii daripada mubazir nginget-inget password dan akhirnya ga posting, maka sebaiknya aku postingin sedikit cerita tentang aku sendiri :3

Selasa, 24 Mei 2011

koin

“Udah gue bilang! Gue ngga bisa sama lo lagi! Kita udah putus!”

“Kenapa?” tanya Leta setengah berbisik menahan air mata yang sudah mengembun di pelupuk. “Ada cewek lain ya? Kata temen-temen, Bayu udah deket sama Siska. Bener khan? Trus artinya Leta buat Bayu selama ini apa?” teriak Leta tak bisa mengontrol diri lagi.

“Udah stop jangan nangis lagi depan gue Ta! Lo tuh kaya uang koin seratusan, lo ngga ada artinya lagi buat hidup gue Ta!”

Habis sudah semua kata-kata yang tadi ia siapkan. Kata-kata Bayu barusan membuatnya tertampar. Air mata yang mengembun itu akhirnya jatuh membasahi pipi Leta seiring dengan hilangnya sesosok Bayu dari pandangannya. Kini ia sendirian di taman belakang sekolah yang sunyi, sampai-sampai ia bisa mendengar suara desahan angin di sela-sela dedaunan membisikkan sebuah nyanyian perpisahan.

Masih melekat ingatannya, sepulang sekolah, saat itu Valentine ia memberikan sekotak coklat dan sweater coklat untuk Bayu. Seperti hari ini, ia juga menunggu Bayu di taman belakang sekolah yang bersebelahan persis dengan lapangan basket, tempat Bayu latihan tiap pulang sekolah. Kemudian Bayu yang ia tunggu-tunggu datang dengan senyumnya yang selalu cerah meskipun berliter-liter keringat telah membasahinya.

“Ada apa Ta?”

Tapi Leta terlalu malu sampai ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Jantungnya berdegup terlalu keras sampai-sampai ia merasa mual, dan satu-satunya hal yang terpikir saat itu ada kabur setelah ia berikan kado berwarna merah hati kepada Bayu. Tapi siapa yang menyangka Bayu sudah meraih tangannya lebih cepat dari langkahnya. Ia sendiri juga kaget saat Bayu mengecup keningnya dan memeluknya untuk pertama kali. Dan hari itu pula ia akhirnya mimpinya tercapai, Ia yang terpilih untuk selalu menemani Bayu, bintang basket sekolah. Bayu dan Leta, tak ada satupun teman-temannya yang menyangka, bahkan tak ada yang menyukai hubungannya. Tapi sepertinya kini ia tahu, mengapa.

**

Leta duduk bersandar di kasurnya, sambil terus mentap kosong ke luar jendela. Cuaca diluar tak begitu cerah, matahari bersembunyi dibalik awan-awan tebal kehitaman yang sudang menggantung seakan-akan akan jatuh menimpa kota kecilnya. Tapi ia tak peduli, mungkin itu lebih baik bagi Leta, seperti lagu Dewiq yang ia putar berulang-ulang “dunia sedang tak bersahabat…ingin kubawa hancur bersamaku”.

Ia raih ponselnya yang bergetar tanpa suara. Ternyata Dara, teman sebangku sekaligus sahabat yang ia butuhkan.

“Halo Ta? Gue tadi liat status facebook Bayu, in relationship tapi sama Ashanti Fransisca Sondeng. Kalian putus? Kapan? Kok lo ngga cerita sih? Halo…Ta… lo dengerin gue khan? Halo?” cerocos sahabatnya bertubi-tubi seperti biasanya.

“Hwaaaaaaaa……… gue udah diputusin Daaaaaaarrrr!!! Hwaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!”

Akhirnya Dara hanya bisa mendengarkan tangisan Leta tanpa henti, tanpa bisa ia tanya apapun, dan tanpa ia tahu kira-kira berapa menit atau jam lagi tangisan Leta akan berakhir. Ia sudah duga sebelumnya, hari ini cepat atau lambat pasti akan datang.

“udah belum nangisnya?”

“u..u..dah Dar” jawab Leta getir sambil menahan isaknya.

“Sekarang lo tau khan kenapa, gue sama anak-anak ngga ada yang suka sama Bayu. Bukan karena kita jealous lo bisa pacaran sama bintang basket. Tapi karena kita tahu track record si Bayu yang ngga bener. Oke gue jujur nih, menurut gue sama anak-anak, si anak tuyul itu tuh manfaatin lo selama ini. Masa lo ngga nyadar si Ta?” cerocos Dara kemudian sekaligus mengumpat Bayu mantan pacarnya. Dulu ia sedikit kesal tiap kali sahabatnya yang cablak itu menyebut pacarnya anak tuyul, bayi siluman, atau kadang babi ngepet. Tapi sekarang sebutan itu terasa begitu menyenangkan ditelinganya.

“manfaatin apa maksud lo?”

“Lo disuruh ngerjain tugas dia, lo disuruh jagain barang-barang dia pas basket, dia minta dibeliin ini itu, surprise buat ulang tahun dia. Pantesan aja lah dia mau sama lo!”

“maksud lo?”

“ya kalo lo ngga sebego itu dia ngga akan mau sama elo Letaaaa!! Heloooo please deh Ta, menurut lo cowok Playboy kacrut begitu bisa berubah secepet itu gara-gara cinta mati sama elo?! Wake up girls!! It’s the real life. Cowok ganteng, keren, anak basket lo bisa bayangin khan ceweknya kaya gimana? Anak cheers, bohai, cantik meskipun dua-duanya otak udang, but its look match!”

“Jadi bukan gara-gara dia sayang sama gue? Maksud lo, gue emang ngga cukup oke, akhirnya Bayu mutusin gue?”

Dara terdiam. Sepertinya ia berbicara terlalu banyak dari yang seharusnya.

“Hwaaaaaaaaaaaaa……. Gue emang ngga ada artinya buat dia Dar. Iya gue emang kaya duit koin seratusan, gue ngga ada artinya!!! Hwaaaaaaaaaaaaa…..!!”

Clek.

Sambungan telepon ditutup seketika oleh Leta. Dara benar-benar lupa sahabatnya itu baru saja putus cinta dan masih teramat sangat sensitif. Akhirnya ia hanya bisa berdoa kepada Tuhan, semoga Leta ngga bunuh diri abis ini.

**

Kembali duduk di dalam kamar yang penuh dengan taburan tisu bekas ingus, mendengarkan Dewiq mengutuk dunia mungkin hampir seratus kali, akhirnya Leta merasa bosan juga. Tiba-tiba saja ia merasa harus keluar kamar, rumah, kota mungkin kalau perlu. Ia raih jaket biru donker kesayangannya yang masih tergantung tertutup plastik laundry, tak lupa ia lilitkan syal abu-abunya untuk menghangatkan tubuhnya dari cuaca diluar yang kelihatannya dingin. Begitu diluar pagar ia tarik nafasnya dalam-dalam, ia mencium bau hujan yang begitu melekat dibawa angin. Mungkin sebentar lagi hujan, pikirnya. Ia lanjutkan langkah kakinya, tujuannya masih belum bisa ia pastikan, tapi ia ingin menenangkan pikirannya dulu.

Udara semakin dingin, ia masukkan kedua tangganya kedalam saku jaket, dan ia langsung terpana begitu melihat selembar uang seratus ribuan lecek masih ada di dalam saku jaketnya. Tanpa berpikir panjang ia langsung berjalan menuju Supermarket kecil yang berada diujung jalan raya.

“Sore mbak”

“Sore Mas, saya mau beliiii….” Jawab Leta bingung mencari sesuatu yang cukup menari untuk ia beli saat itu. “ Oh dompet uang koin ini Mas, tapi yang ukurannya agak besar, ada?”

“Yang segini ,mbak?” tanya kasirnya dengan tersenyum ramah.

“Yap! Ini uangnya, tapi kembaliannya pake uang koin ya Mas, nanti mau langsung dimasukin ke dompet” ujar Leta membalas senyuman ramah mas-mas kasir yang mendadak shock mendengar permintaan Leta.

**

“1, 2, 3, 4”

“mas buruan mas, lama banget!” teriak seorang ibu-ibu gendut dengan rambut keriting dan muka galak tampak tak sabar dan di setuji oleh beberapa pembeli yang lain.

“kalau mau tukeran koin khan bisa ntar mas. Bisa ngga kalau saya diduluin?” lanjut seorang bapak berkumis berusaha bersabar.

“iya maaf sebentar lagi selesai kok pak bu” jawab Leta sambil tersenyum manis dan mengipasi mas-mas kasir yang sudah keringetan daritadi menghitung uang koin ngga selesai-selesai.

“..5, 6,7,8 jadi delapan puluh ribu, ditambah tu,wa,ga,pat jadi delapan puluh empat ribu ya mbak” ujarnya lega.

“oke, makasih ya mas” jawab Leta tersenyum manis sekali seraya memasukkan semua uang koin di dalam dompet barunya.

Dengan diiringi gemerincing ribuan uang koin di dalam sakunya ia segera berjingkat-jingkat pergi. Hatinya menjadi ikut riang mendengar bunyi uang koin yang seakan-akan menambah irama langkah kakinya, meskipun orang di dalam supermarket tidak melihat seperti itu.

**

Keesokannya pagi-pagi sekali ia bangun, dan segera membereskan kamarnya yang berantakan oleh tissue bekas ingusnya kemarin. Ia buka jendela kamarnya yang tertutup kelambu kuning yang memang dibuat senada dengan warna cat tembok kamarnya.

Hari ini matahari sudah nampak, tak lagi tertutup awan seperti kemarin, membuatnya bersemangat untuk jalan-jalan lagi. Dan satu hal, ia ingin beli es krim, kemarin ia kepengen beli, cuma dia ngga tega ngomong ke mas kasir yang udah keliatan udah sedikit juling, menghitung uang koinnya.

Setelah mandi plus luluran plus keramas dan creambath mandiri, ia berdiri di depan lemari bajunya. Termangu memilih-milih baju apa yang ingin ia pakai hari ini. Akhirnya keputusan jatuh pada rok renda warna krem, dipadukan dengan jaket jeans belel dan stiletto biru andalan. Tak lupa ia bawa dompet koin barunya. Dan tas kanvas milik Dara yang ketinggalan sewaktu menginap dirumahnya. Hari ini ia tidak mau sedih, ia mau menikmati uang koinnya, dan tampaknya tidak seburuk yang ia bayangkan.

“permisi mas” sapanya kepada mas kasir yang langsung terpaku melihatnya.

Tapi Leta terlalu bahagia untuk memperhatikan mas kasir yang pucat pasi, ia segera ke arah lemari pendingin yang berisi berpuluh-puluh, mungkin beratus-ratus es krim. Dan pilihannya jatuh pada magnum yang terbungkus coklat tebal dengan creamy ice lembut di dalamnya. Air liurnya hampir saja terjatuh saat ia membayangkan ice cream magnum di mulutnya. Untung buru-buru ia tersadar dan segera meraih ice cream magnum yang membeku.

“ini mas, berapa?” tanyanya riang seraya mengeluarkan dompet koin nya yang mulai bergemerincing .

“sepuluh ribu mbak”

“Oke” jawabnya seraya mulai menghitung satu persatu uang koinnya. Dan seperti yang telah dikhawatirkan oleh mas-mas kasir itu, para pembeli sudah mulai mengantri dibelakang sementara Leta masih sibuk menghitung uangnya satu persatu.

“Maaf ya Pak, mohon ditunggu sebentar” ujar mas-mas kasir memelas. “mbak, mbak permisi ya… untuk hari ini saya beri gratis aja ice cream magnumnya, oke? Terima kasih. Silahkan maju pak. Maaf atas ketidak nyamanannya”

Leta terpaku, mendengar kata-kata mas kasir barusan. Ia melihat mas kasir itu sudah mulai melayani pembeli yang antri berada di belakang tanpa merasa berdosa. Tiba-tiba air matanya jatuh begitu saja. Ia genggam ice cream ditangannya, dan berlari keluar meninggalkan dompet beserta seluruh uang koinnya di meja kasir.

**

Leta menangis sejadi-jadinya di bangku taman tempat nenek dan kakek yang ia lihat kemarin. Andai saja bangku taman itu bisa bercerita mungkin ada lebih banyak lagi kisah yang bisa ia ceritakan tentang orang-orang yang pernah duduk di atasnya.

Hati Leta hancur sekali lagi. Air matanya terus menerus mengalir tak bisa ia hentikan, dan sialnya ingusnya pun juga ikutan keluar padahal tak ada selembar tissue pun yang ia bawa. Seorang cewek menangis di taman membuat terlihat sangat feminim dan melankolis, tapi tidak dengan ingus, begitu pikirnya. Itu bakal membuat orang melankolis tapi juga menjijikan.

“tissue?”

Tiba-tiba satu pack tissue tersodor di depan mukanya. Buru-buru ia ambil tanpa berpikir panjang lagi. Tapi ia langsung kaget begitu melihat mas-mas kasir lengkap dengan seragamnya lah yang datang membawakan tissue untuknya. Tapi Leta tak bisa berkata apa-apa, isak tangisnya masih di tenggorokan, ia tak bisa berkata sepatah katapun.

“sorry ya, tadi gue panik” ujarnya seraya menyodorkan sebuah dompet yang ia kenal. “ nih dompet lo, masih utuh kok isinya”

“thanks” akhirnya ia bisa mengucapkan sepatah kata juga. “ gue juga minta maaf ya snif..snif.. gue juga kurang ker..kerjaan banget pake tuker duit koin. Gue cuma mau ngebuktiin, snif..snif..kalau duit koin seratusan tuh ngga sejelek yang dibayangin cowok eh mantan gue”

Mas mas kasir itu masih terdiam tak mengerti dengan arah pembicaraan Leta. Leta menarik nafas panjang dan mulai menceritakan semuanya. Entah mengapa, ia merasa nyaman bercerita dengan mas mas kasir ini. Seperti ada tong sampahbesar untuk membuang semua keluh kesahnya yang meracuni otaknya.

“mantan lo itu salah, duit seratusan koin itu tetep penting kok! Setahu gue, klo beli di supermarket dan kurang seratus perak pun, berarti lo ngga bisa beli barang yang lo mau. Cuma kalau lo pake duit koin dimana-mana, itu namanya ngga efektif, itu beda artinya sama ngga penting loh!”

“thanks yah… eh nama gue Leta”

“ahahahahha iya lupa, belum kenalan kita ya…gue Noddie, orang sih biasanya cuma panggil Nod” jawabnya seraya tersenyum lebar. “ lo masih sekolah khan”

“Iya. Di Harapan Bangsa, lo?”

“gue kuliah di Global, eh tunggu bentar… tadi lo bilang cowok lo namanya Bayu? Anak SMA Harapan Bangsa, Atlet Basket juga?”

“Iya, kenapa emang?”

“jangan-jangan cowok lo itu selingkuhan mantan cewek gue”

“kata temen gue, ceweknya namanya Siska, anak SMA Merah Putih”

“hahahahahahahhahaha iya itu mantan cewek gue! Hahahahahah jadi cowok lo yang dia bilang lebih tajir daripada gue hahahahahahaha kenapa bisa begini ya?”

“Tajir apaan? Keliatannya aja tajir, orang sepatu basket, jaket, tas nike itu gue yang beliin! Dulu gue juga yang tiap hari anter jemput dia naik wonder gue!” sesaat Leta terdiam menyadari ucapannya barusan.

“hahahahahahhahahahhahahahahah . . . mantan gue ketipu donk!”

“hahahahahhahahhahahaha…. Ya dan gue juga baru sadar kalo mantan gue itu bener-bener ngga modal dan ngga ada apa-apanya!”

“dan sekarang dia dapet cewek matre hehehe…”

Leta tergelak, akhirnya untuk pertama kalinya setelah ia diputus ia bisa tertawa selepas ini, dan sudah tak ada lagi sakit hati. Uang koin yang ngga berharga ini, ternyata malah bernilai lebih dari seharusnya, karena membuatnya bertemu dengan Nod. Dan menurut Leta, Nod oke juga kok, meskipun ngga punya body atletis, meskipun matanya berbingkai sebuah kacamata tebal, dan rambut ikalnya berantakan tapi ia kelihatan lucu juga hehehe . . .

The End

......???.......

Pernahkah kalian menyadari bahwa ada beberapa tingkatan kasta yang tebentuk di kehidupan kampus. Aku memang bukan pengamat sosial, tapi aku selalu menyadari dan mengamati itu semua. Dimulai dari kasta anak-anak semester baru., kita panggil saja newbie. Newbie adalah sasaran buat anak-anak tingkat atas, yang cakep jadi sasaran gebetan, yang pas-pasan jadi sasaran ceng-cengan. Buat para newbie, hidup kalian di kampus, mutlak di tangan kakak tingkat. Kasta selanjutnya, kasta transformer yang isinya mahasiswa sememester tiga. Ini nih kasta yang aman-aman aja, tapi kasta ini penentuan buat kalian yang pengen naek kasta ke kasta tertinggi. Kalo terbukti kalian ngga bisa mempertahanin ke eksisan kalian di kampus, nasib kalian bakal hanya akan menjadi sebuah mimpi buruk. Syukur-syukur kalo kalian masi punya modal muka gantengan sama jatah warisan banyak buat di andalin, kalian masih bisa punya cewek adek tingkat yang cakep. Tapi kalo ngga ada modal kesana, jangan harap! Dan kalian harus rela jadi kasta terendah sampai nanti kelulusan yaitu kasta batu apung. Jadi batu apung yang ngga pernah dianggap ada di kampus. Dan yang paling menyedihkan, kalian cuma bisa berkhayal buat ngedapetin cewek macam Malika. Cewek indo yang masih ngalir keturunan ras arya di darahnya. Mungkin, Tuhan sedang bahagia ketika sedang menciptakannya hingga tak ada satupun kekurangan pada tubuhnya. Rambut ikal panjang kecoklatan itu tergerai, seakan mengikuti gerak langkahnya. kulitnya putih bersih seperti pualam yang berjalan ditengah-tengah batu apung. Mata coklatnya yang lebar dan hidung lancip bisa jadi perpaduan sempurna di wajahnya yang oval. Bibirnya yang selalu basah karena lip gloss itu selalu tersenyum manis sekali kepada siapapun. Ia berjalan anggun dengan langkah anggun seperti berdansa waltz diatas wedge warna pink favoritnya. Aku selalu menyukai irama langkahnya yang berirama mengiringi jantungku yang berdesir lembut setiap kali menatapnya.

Tap.. tap.. tap.. tap.. tap.. BAM!!

“Ngapain lo liat-liat cewek gue?!” teriakku setelah melayangkan bogem mentah tepat di hidungnya.

“Hei hun” sapa Malika seraya mengecup pipiku. “kamu apain dia?”

“Aku lagi kesel banget hun, trus liat dia disini malah lagi bejo ngeliatin kamu”

“Ahahahahha… c’mon darl, he’s nothing” bela Malika sambil melemparkan saputangannya.

“hmmm… sorry…maybe…just lossing for a while”

Kurasakan emosiku perlahan mereda ketika menatap mata coklatnya. Malika, malaikatku yang selalu saja ia bisa membuat hatiku mencair, seperti es di musim semi. Ku rengkuh tubuhnya, dan segera meninggalkan si babi ngepet dengan hidungnya yang berdarah karena bogemku. Ku rasakan semua mata menatapku begitu tajam, mungkin gara-gara kejadian tadi, atau gara-gara Malika yang berdiri disampingku. Ah aku tak perduli lagi, aku hanya ingin pergi dari sini.

Di dalam mobil, kembali ku teringat surat peringatan dari dekan yang kuterima siang ini. Tuduhan mereka atas kerusakan properti kampus, sungguh tidak beralasan. Anggapan diriku sebagai trouble maker, menjadikanku sebagai kambing hitam di semua perkelahian antar kampus selama ini.

“hun, aku mau tanya deh . . .menurut kamu kalau rambut aku toning cocok ngga? Jadi warna item gitu”

“cocok… cocok aja kok. Kamu pasti tetep cantik”

“Ah masa sih? Tapi aku sebenernya lebih suka yang burgundy . . . cumaaa . . .eh eh kamu liat billboard Agnes tadi khan hun? Dia rambut pendek tapi tetep keliatan chic yah. Aku suka banget deh, eh tapi Agnes khan ikut-ikutan Rihanna banget hun! Selalu deh orang-orang indonesia bisanya cuma jiplak. Copycat! Aku jelas lebih suka sama Rihanna, pas itu aku pernah lihat dia di majalah cuma pakai kaos ma hotpants jeans belel plus. . . blah . . .blah . . .blah”

Aku hanya tersenyum melihatnya terus saja berbicara, tanpa aku mengerti sedikitpun apa yang ia sedang bicarakan. Otak ku sudah cukup memikirkan surat peringatan dekan, tak perlu lagi aku capai-capai memikirkan Agnes Monica versus Rihanna yang mengenalnya sedikitpun aku tidak.

“hun, aku dapet surat peringatan dari Dekan. Kali ini kayanya, aku bakal kena D.O” cerocosku langsung memotong semua pembicaraannya.

“Oh my Gosh! Are you sure?”

“a hundred percent hun! Look at this” jawabku seraya menunjukkan surat peringatanku kepadanya. “padahal kamu tahu khan, siapa yang bikin masalah dari kemarin, Ario, tapi aku ngga mungkin ngaduin Ario ke kampus. But this is it what I’ve got! I’ve told him, but Ario just like don’t care anymore! MotherF***!”

“Oh hun, I’m so sorry to hear that. Masa iya Ario setega itu sama kamu? Ario is your best friend right?! He was help you…”

“yeah you always remind me about that . . . again again and again! Thank you”

“but Im sure, if he had a big reason that you don’t know. Just positive thinking. Is it wrong?”

Kembali aku teringat kejadian malam itu. saat kami berdua telah terlarut begitu dalam oleh sebotol, dua botol, lima botol entah aku tak ingat seberapa banyak kami telah meminumnya. Perkelahian yang begitu saja terjadi, ketika kulihat Malika pertama kali diantara lelaki-lelaki hidung belang. Dan Ario lah yang telah menyelamatkanku dari tusukan pecahan botol dari salah seorang mereka. Untung saja belum terlambat, untuk membawa Ario hidup-hidup dari sana.

“Hun, kayaknya aku mau ke salon bentar deh. Kamu ademin pikiran kamu dulu aja oke?!”

“hari ini jadwal ke salon?” tanyaku sedikit aneh.

“ngga sih, tapi aku pengen ke salon aja biar pikiranku agak rileks. Seharian pusing kuliah”

Setelah melewati dua kali traffic light, ku tepikan peugeot ku di depan salon langganan Malika yang tiap minggu ia kunjungi. Meski sudah hampir setahun aku selalu mengantar Malika, tak pernah sekalipun aku masuk ke dalamnya. Dengan segala macam bujuk rayuan Malika pun tak akan mempan. Karna konsep lelaki metroseksual sama sekali tak pantas dan bertabrakan dengan semua ideologiku. Tak ku perdulikan Ario memanggilku gembel, anak kampung, pentolan korek atau apalah tapi potongan rambutku yang selalu botak ini lebih ku percaya kepada mama, dan mungkin nanti kepada Malika.

“Oh iya hun, aku lebih suka kamu pake ranger orange deh daripada peugeout putih mama kamu ini. . . hehehe” ujarnya sebelum keluar.

“hehehe . . . ngga punya duit hun buat bli bensin . . . yaudah deh . . . Kamu ntar mau dijemput jam berapa? Sms aja”

“ummm…. Ngga deh kayanya. Hari ini aku pulang sendiri aja” seraya mendaratkan sebuah kecupan di pipiku.

“oh . . . yaudah bye” jawabku sedikit kikuk.

“bye . . .”

Mobilku kembali menderu di jalan, menyeruak panas ibu kota siang hari. Begitu panas di luar, hingga ku merasa miris melihat bocah-bocah kecil diluar sana yang bertarung melawan panas demi lembar-lembar ribuan untuk nya bertahan hidup. Dengan gitar kecil usang di tangannya mereka bernyanyi, berteriak melengking khas suara anak-anak yang belum cukup matang. Ku berikan selembar uang puluhan ribu kepada mereka, dan tak kusangka mereka melonjak kegirangan. Sudah lama tak kurasakan hal semacam ini, memberi kebahagiaan untuk orang lain ternyata lebih menenangkanku daripada memukul hidung si babi tadi. Aku sedikit menyesal dan geli mengingat si babi bisa menjadi pelampiasan amarahku.

Tiba-tiba sebuah mobil menyerobot jalan hingga menyerempet beberapa bocah-bocah pengamen tadi. Langsung ku tancap gas dan mengejarnya. Entah apa yang kulakukan aku juga tak mengerti tapi sesuatu harus kulakukan untuk bocah-bocah kecil di jalan. Ku bunyikan klakson ku berkali-kali, tapi mobil itu terus melaju, tak memperdulikanku. Ku kejar terus hingga akhirnya kini aku menghalangi jalanya. dan akhirnya pengemudinya pun menghentikan mobilnya perlahan.

Segera ku keluar dari mobil, menghampiri pengemudi yang masih saja bersembunyi di dalam. Aku berjalan perlahan berusaha menenangkan emosiku. Ku lihat sosok di dalam mobil yang entah terlihat tak asing bagiku. Aku terus berjalan mendekat, namun tubuhku tak lagi memanas, kurasakan jantungku malah semakin berdegup kencang. Yah mereka benar-benar tak asing, karena mereka adalah Ario dan malaikatku Malika.

Akhirnya Ario membuka pintu dan keluar dari mobil begitu aku telah begitu dekat. Ia tak berkata apa-apa hanya menatapku sekejap dan membuang mukanya.

“Anjing lo ya!” bisikku sambil mendorong tubuhnya yang lebih besar dariku.

“Defa! Aku bisa jelasin ini!” teriak Malika yang tiba-tiba sudah berada tak jauh dari ku.

“Eh Sundal, lo kira sinetron gitu trus gue mau memperbutin lo?”

“Def, jaga omongan lo!”

“Tapi emang hebat lo udah ngehancurin persahabatan gue sama Ario! Lo emang sundal paling bajingan yang gue kenal!”

“Kelewatan lo Def!”

“klo lo Yo, Bajingan bego yang udah mau sama sundal bekas gue!”

“ANJING!!!”

BAM

“Def . . . lo ngga apa-apa khan?”

Mataku seakan berkunang-kunang sejenak begitu mendadak sebuah bogem mentah mendarat tepat pada hidungku. Ku lihat semua teman-temanku sudah berada di sekelilingku membantuku kembali duduk. Seluruh dunia terasa sangat buram, dan hidungku juga mulai merasakan nyeri tak tertahankan. Ku raba-raba hidungku, dan samar-samar tampak darah segar telah membasahi jemariku.

“kacamata . . . kacamata gue mana?” teriakku mulai panik

“nih pake kacamata gue dulu!”ujar Mili seraya memasangkan kacamatanya kepadaku.

Baru akhirnya bisa kulihat semuanya lebih jelas. Kaca-kaca dan dinding kampus yang tinggi menjulang tiba-tiba kembali lagi di depanku. Sepertinya aku telah kembali ke dalam dunia yang aku kenal. Wajah-wajah sahabatku yang sedari tadi berada di sisiku. Mili yang mungil, Rino selalu tersenyum lebar, selebar tubuhnya memang agak lebar, Wira dengan rambut kelimisnya, dan Bani, si cina kriting. Ku lihat menatapku cemas. Apalagi Mili, ia terlihat sedikit shock dengan tissue-tissue penuh darah di tangannya.

“kacamata lo remuk Def! edaaaan si Fadil, preman beneran dia!” komentar Wira sambil menunjukkan kacamataku yang sudah tak berbentuk.

“Denger-denger dia kena DO gara-gara kasus tawuran mahasiswa kemaren” sambung Bani.

“hah DO lo bilang? Kapan?” tanyaku kaget.

“iya baru tadi pagi, heboh tuh tadi anak-anak ngebahasnya. Soalnya yang bikin tawuran tuh Ario, tapi dia yang kena DO hehehe… ”

“aaaaah udahlah yang penting tau ngga Def, Malika ngasih lo ini!” teriak Rino heboh sambil menunjukkan sebuah saputangan pink di tangannya.

Aku hanya terdiam membisu membiarkan semua sorak sorai mereka terhadapku. Ku tatap saputangan pink dengan aksen bunga-bunga cantik yang mewakili sosok Malika. Ku raih saputangan itu, kuhapus semua darah-darah yang membasahi hidung dan bibirku, kemudian ku buang saputangan malika ke tempat sampah. Lalu ku kembali duduk bersama keempat sahabatku yang masih bengong kebingungan melihatku.

“jadi tadi kita ngobrol sampe mana?”

End

Ayudiah

Ayu Diah namanya. Dulu dia adalah kembang desa itu. kulitnya kuning langsat, tubuhnya tampak lebih matang daripada usianya yang belum genap 15 tahun. Rambutnya yang hitam dan panjang itu selalu di gerai, bergelombang seperti ombak di laut yang bergulung-gulung, kadang-kadang juga dihiasi bando warna merah jambu yang dibeli emaknya di pasar malam. Hidungnya memang tidak bangir, tapi itu tampak serasi dengan wajahnya yang oval dan bibirnya yang bulat. jika para lelaki di desa menggodanya, ia akan tersenyum tersipu manis sekali.

Di sekolah banyak sekali sekali yang mengiriminya surat berisi puisi-puisi picisan, tapi tak satu pun pernah ia tanggapi serius. Keinginannya hanya satu, lulus sekolah dan segera bekerja agar menjadi kaya. Ia tidak mau seperti emaknya, yang kusut dan kumal dan bau minyak urut. Emaknya adalah tukang pijat keliling, tapi kalau sedang sepi panggilan emaknya sering berjualan di pasar. Ayu tak tahu apa yang dijual emaknya, tapi setiap kali emaknya pergi ke pasar selalu saja ada bajunya yang hilang atau buku-buku sekolahnya. Tapi ia tidak terlalu ambil pusing, karena ia juga tidak begitu menyukai buku-buku itu. yang ia sukai adalah duduk di depan kaca dan menyisir rambutnya yang terkadang suka berkutu, sambil mendengarkan radio milik bapaknya dulu, begitu kata emak. Ia sendiri tak pernah ingat wajah bapaknya, yang sudah 10 tahun lebih tak ia temui. Kata emak, bapaknya sudah mati tapi tidak begitu kata kai odah, tetangganya.

“Bapakmu sudah kabur bersama perek itu!”

Ketika ia tanyakan kepada emak, yang ia dapatkan hanyalah dengusan dari emaknya yang langsung tidur memunggunginya. Terpaksa ia lupakan rasa ingin tahunya itu, toh bukan itu yang ia inginkan sekarang. Dia ingin seperti mbak Sri tetangganya yang baru datang dari luar negeri, tapi bau tengik. Gelang-gelang emas yang melingkar di tangannya amat banyak, bunyinya “cring-cring” merdu sekali. Katanya itu memang emas asli makanya bisa berbunyi merdu, tidak seperti gelang emas imitasi miliknya. Gelang pemberian Tarjo tetangga depan rumahnya, si penjual buah di pasar yang cinta mati padanya, tapi gembel dan ia tak suka gembel. Ia mau seperti fitri, di sinetron kesukaanya atau seperti mbak Sri tapi tidak pakai bau tengik. Ia ingin kaya.

“oalaaaahhh yu, sudah kamu ikut aku saja jadi TKW ke Malaysia. Lihat, aku kerja 4 bulan sudah bisa beli gelang 10 sama kalung 2”

“ndak boleh sama emak, mbak sri. Katanya disuruh lulus sekolah dulu”

“hwalaaaah kelamaan, ini mumpung ada kesempatan loo”

Ayu terdiam. Ia ingin ikut mbak sri ke Malaysia dan menjadi kaya. Tapi emaknya tak pernah memberinya izin, dan malah memarahinya. Emak juga tidak pernah memujinya seperti yang orang-orang lakukan. Emak selalu menyuruhnya belajar supaya masuk ke MAN. Padahal dia sudah capai untuk belajar, bagaimanapun ia belajar nilai tetap tidak lebih dari angka 5. Pernah mendapat nilai 7 sekali itu juga pelajaran olah raga.

Malam itu setelah emaknya marah-marah lagi, diam-diam ayu diah mengemasi baju-bajunya. Ia akan pergi ke Malaysia besok pagi-pagi sekali. Mbak Sri bersama teman-temannya akan berangkat naik bis ke Jakarta lalu naik kapal dari tanjung priok ke batam, dari batam baru naik kapal lagi ke (XXX) Malaysia. Lalu ia akan pulang dan dengan bangga ia pakai gelang-gelang emasnya di kedua tangannya, kalung emas, anting-anting emas tapi tidak bau tengik seperti bau mba sri. Emak pasti tidak berani marah-marah kepadanya lagi, orang-orang di desa apalagi. Ah mungkin dia malah sudah tak tinggal di desa lagi, dia akan tinggal di kota, lalu hidup seperti fitri di sinetron kesukaannya. Pakai bajunya bagus-bagus, tidur saja bajunya juga bagus, dan kemana-mana naik mobil sedan, bukan sepeda butut seperti miliknya itu.

Ia tidak pamit kepada emaknya, ia hanya menuliskan sebuah surat. Ia tidak begitu pandai merangkai kata-kata, jadi isinya cuma kata-kata pamit yang biasa ia ucapkan ke emak. Ia masukkan surat itu ke dalam amplop bekas surat-surat cinta Tarjo. Ia buang isinya dan ia ganti suratnya. Lalu ia pergi.

Di tengah hari, saat matahari masih bersinar hujan tiba-tiba turun cukup deras, sehingga orang-orang semuanya berlarian sembunyi dari air yang turun dari langit. Kecuali si gadis muda, dia masih saja duduk di pelataran rumahnya. Bermain-main dengan beceknya tanah yang baru saja basah. Perutnya membesar, karna ia sedang bunting 7 bulan, kakinya penuh dengan bekas-bekas luka yang menghitam, pipinya ada bekas jahitan kasar yang masi timbul, rambutnya pun acak-acakan. Lal seorang wanita tua keluar dari rumah dan segera membawa gadis bunting itu masuk ke beranda, gadis itu berteriak-teriak histeris, dan menangis.

Baru 6 bulan lalu gadis itu datang ke desa diantar oleh mobil ambulans. Di tangannya sudah penuh dengan balutan perban bekas luka bakar, kakinya di gips, yang satunya lagi di plester. Kata dokter sih itu bekas sayatan-sayatan pisau, lalu dokter juga menjelaskan kondisi janinnya yang lemah dan harus dijaga untuk mengindari keguguran.

Nyi Imah memeluk gadis itu erat-erat, diciuminya, di dekap tapi gadis itu tak membalasnya. Ia hanya memandangi wanita tua itu, lalu menangis dan terus menangis hingga ia tertidur di pangkuan nyi imas.

Semua tetangga-tetangganya segera mencari-cari sumber suara keributan. Termasuk Tarjo, lalu ia melihat miris dan kembali masuk ke rumah. Ia tak tega melihat Ayu diah, wanita pujaanya. Ayu diah yang yang selalu menjadi sumber inspirasinya membuat puisi-puisi roman. Ayu diah, si cantik nan molek yang empat tahun lalu ia selalu curi-curi pandang, namun sekarang meliriknya saja enggan.