Selasa, 24 Mei 2011

......???.......

Pernahkah kalian menyadari bahwa ada beberapa tingkatan kasta yang tebentuk di kehidupan kampus. Aku memang bukan pengamat sosial, tapi aku selalu menyadari dan mengamati itu semua. Dimulai dari kasta anak-anak semester baru., kita panggil saja newbie. Newbie adalah sasaran buat anak-anak tingkat atas, yang cakep jadi sasaran gebetan, yang pas-pasan jadi sasaran ceng-cengan. Buat para newbie, hidup kalian di kampus, mutlak di tangan kakak tingkat. Kasta selanjutnya, kasta transformer yang isinya mahasiswa sememester tiga. Ini nih kasta yang aman-aman aja, tapi kasta ini penentuan buat kalian yang pengen naek kasta ke kasta tertinggi. Kalo terbukti kalian ngga bisa mempertahanin ke eksisan kalian di kampus, nasib kalian bakal hanya akan menjadi sebuah mimpi buruk. Syukur-syukur kalo kalian masi punya modal muka gantengan sama jatah warisan banyak buat di andalin, kalian masih bisa punya cewek adek tingkat yang cakep. Tapi kalo ngga ada modal kesana, jangan harap! Dan kalian harus rela jadi kasta terendah sampai nanti kelulusan yaitu kasta batu apung. Jadi batu apung yang ngga pernah dianggap ada di kampus. Dan yang paling menyedihkan, kalian cuma bisa berkhayal buat ngedapetin cewek macam Malika. Cewek indo yang masih ngalir keturunan ras arya di darahnya. Mungkin, Tuhan sedang bahagia ketika sedang menciptakannya hingga tak ada satupun kekurangan pada tubuhnya. Rambut ikal panjang kecoklatan itu tergerai, seakan mengikuti gerak langkahnya. kulitnya putih bersih seperti pualam yang berjalan ditengah-tengah batu apung. Mata coklatnya yang lebar dan hidung lancip bisa jadi perpaduan sempurna di wajahnya yang oval. Bibirnya yang selalu basah karena lip gloss itu selalu tersenyum manis sekali kepada siapapun. Ia berjalan anggun dengan langkah anggun seperti berdansa waltz diatas wedge warna pink favoritnya. Aku selalu menyukai irama langkahnya yang berirama mengiringi jantungku yang berdesir lembut setiap kali menatapnya.

Tap.. tap.. tap.. tap.. tap.. BAM!!

“Ngapain lo liat-liat cewek gue?!” teriakku setelah melayangkan bogem mentah tepat di hidungnya.

“Hei hun” sapa Malika seraya mengecup pipiku. “kamu apain dia?”

“Aku lagi kesel banget hun, trus liat dia disini malah lagi bejo ngeliatin kamu”

“Ahahahahha… c’mon darl, he’s nothing” bela Malika sambil melemparkan saputangannya.

“hmmm… sorry…maybe…just lossing for a while”

Kurasakan emosiku perlahan mereda ketika menatap mata coklatnya. Malika, malaikatku yang selalu saja ia bisa membuat hatiku mencair, seperti es di musim semi. Ku rengkuh tubuhnya, dan segera meninggalkan si babi ngepet dengan hidungnya yang berdarah karena bogemku. Ku rasakan semua mata menatapku begitu tajam, mungkin gara-gara kejadian tadi, atau gara-gara Malika yang berdiri disampingku. Ah aku tak perduli lagi, aku hanya ingin pergi dari sini.

Di dalam mobil, kembali ku teringat surat peringatan dari dekan yang kuterima siang ini. Tuduhan mereka atas kerusakan properti kampus, sungguh tidak beralasan. Anggapan diriku sebagai trouble maker, menjadikanku sebagai kambing hitam di semua perkelahian antar kampus selama ini.

“hun, aku mau tanya deh . . .menurut kamu kalau rambut aku toning cocok ngga? Jadi warna item gitu”

“cocok… cocok aja kok. Kamu pasti tetep cantik”

“Ah masa sih? Tapi aku sebenernya lebih suka yang burgundy . . . cumaaa . . .eh eh kamu liat billboard Agnes tadi khan hun? Dia rambut pendek tapi tetep keliatan chic yah. Aku suka banget deh, eh tapi Agnes khan ikut-ikutan Rihanna banget hun! Selalu deh orang-orang indonesia bisanya cuma jiplak. Copycat! Aku jelas lebih suka sama Rihanna, pas itu aku pernah lihat dia di majalah cuma pakai kaos ma hotpants jeans belel plus. . . blah . . .blah . . .blah”

Aku hanya tersenyum melihatnya terus saja berbicara, tanpa aku mengerti sedikitpun apa yang ia sedang bicarakan. Otak ku sudah cukup memikirkan surat peringatan dekan, tak perlu lagi aku capai-capai memikirkan Agnes Monica versus Rihanna yang mengenalnya sedikitpun aku tidak.

“hun, aku dapet surat peringatan dari Dekan. Kali ini kayanya, aku bakal kena D.O” cerocosku langsung memotong semua pembicaraannya.

“Oh my Gosh! Are you sure?”

“a hundred percent hun! Look at this” jawabku seraya menunjukkan surat peringatanku kepadanya. “padahal kamu tahu khan, siapa yang bikin masalah dari kemarin, Ario, tapi aku ngga mungkin ngaduin Ario ke kampus. But this is it what I’ve got! I’ve told him, but Ario just like don’t care anymore! MotherF***!”

“Oh hun, I’m so sorry to hear that. Masa iya Ario setega itu sama kamu? Ario is your best friend right?! He was help you…”

“yeah you always remind me about that . . . again again and again! Thank you”

“but Im sure, if he had a big reason that you don’t know. Just positive thinking. Is it wrong?”

Kembali aku teringat kejadian malam itu. saat kami berdua telah terlarut begitu dalam oleh sebotol, dua botol, lima botol entah aku tak ingat seberapa banyak kami telah meminumnya. Perkelahian yang begitu saja terjadi, ketika kulihat Malika pertama kali diantara lelaki-lelaki hidung belang. Dan Ario lah yang telah menyelamatkanku dari tusukan pecahan botol dari salah seorang mereka. Untung saja belum terlambat, untuk membawa Ario hidup-hidup dari sana.

“Hun, kayaknya aku mau ke salon bentar deh. Kamu ademin pikiran kamu dulu aja oke?!”

“hari ini jadwal ke salon?” tanyaku sedikit aneh.

“ngga sih, tapi aku pengen ke salon aja biar pikiranku agak rileks. Seharian pusing kuliah”

Setelah melewati dua kali traffic light, ku tepikan peugeot ku di depan salon langganan Malika yang tiap minggu ia kunjungi. Meski sudah hampir setahun aku selalu mengantar Malika, tak pernah sekalipun aku masuk ke dalamnya. Dengan segala macam bujuk rayuan Malika pun tak akan mempan. Karna konsep lelaki metroseksual sama sekali tak pantas dan bertabrakan dengan semua ideologiku. Tak ku perdulikan Ario memanggilku gembel, anak kampung, pentolan korek atau apalah tapi potongan rambutku yang selalu botak ini lebih ku percaya kepada mama, dan mungkin nanti kepada Malika.

“Oh iya hun, aku lebih suka kamu pake ranger orange deh daripada peugeout putih mama kamu ini. . . hehehe” ujarnya sebelum keluar.

“hehehe . . . ngga punya duit hun buat bli bensin . . . yaudah deh . . . Kamu ntar mau dijemput jam berapa? Sms aja”

“ummm…. Ngga deh kayanya. Hari ini aku pulang sendiri aja” seraya mendaratkan sebuah kecupan di pipiku.

“oh . . . yaudah bye” jawabku sedikit kikuk.

“bye . . .”

Mobilku kembali menderu di jalan, menyeruak panas ibu kota siang hari. Begitu panas di luar, hingga ku merasa miris melihat bocah-bocah kecil diluar sana yang bertarung melawan panas demi lembar-lembar ribuan untuk nya bertahan hidup. Dengan gitar kecil usang di tangannya mereka bernyanyi, berteriak melengking khas suara anak-anak yang belum cukup matang. Ku berikan selembar uang puluhan ribu kepada mereka, dan tak kusangka mereka melonjak kegirangan. Sudah lama tak kurasakan hal semacam ini, memberi kebahagiaan untuk orang lain ternyata lebih menenangkanku daripada memukul hidung si babi tadi. Aku sedikit menyesal dan geli mengingat si babi bisa menjadi pelampiasan amarahku.

Tiba-tiba sebuah mobil menyerobot jalan hingga menyerempet beberapa bocah-bocah pengamen tadi. Langsung ku tancap gas dan mengejarnya. Entah apa yang kulakukan aku juga tak mengerti tapi sesuatu harus kulakukan untuk bocah-bocah kecil di jalan. Ku bunyikan klakson ku berkali-kali, tapi mobil itu terus melaju, tak memperdulikanku. Ku kejar terus hingga akhirnya kini aku menghalangi jalanya. dan akhirnya pengemudinya pun menghentikan mobilnya perlahan.

Segera ku keluar dari mobil, menghampiri pengemudi yang masih saja bersembunyi di dalam. Aku berjalan perlahan berusaha menenangkan emosiku. Ku lihat sosok di dalam mobil yang entah terlihat tak asing bagiku. Aku terus berjalan mendekat, namun tubuhku tak lagi memanas, kurasakan jantungku malah semakin berdegup kencang. Yah mereka benar-benar tak asing, karena mereka adalah Ario dan malaikatku Malika.

Akhirnya Ario membuka pintu dan keluar dari mobil begitu aku telah begitu dekat. Ia tak berkata apa-apa hanya menatapku sekejap dan membuang mukanya.

“Anjing lo ya!” bisikku sambil mendorong tubuhnya yang lebih besar dariku.

“Defa! Aku bisa jelasin ini!” teriak Malika yang tiba-tiba sudah berada tak jauh dari ku.

“Eh Sundal, lo kira sinetron gitu trus gue mau memperbutin lo?”

“Def, jaga omongan lo!”

“Tapi emang hebat lo udah ngehancurin persahabatan gue sama Ario! Lo emang sundal paling bajingan yang gue kenal!”

“Kelewatan lo Def!”

“klo lo Yo, Bajingan bego yang udah mau sama sundal bekas gue!”

“ANJING!!!”

BAM

“Def . . . lo ngga apa-apa khan?”

Mataku seakan berkunang-kunang sejenak begitu mendadak sebuah bogem mentah mendarat tepat pada hidungku. Ku lihat semua teman-temanku sudah berada di sekelilingku membantuku kembali duduk. Seluruh dunia terasa sangat buram, dan hidungku juga mulai merasakan nyeri tak tertahankan. Ku raba-raba hidungku, dan samar-samar tampak darah segar telah membasahi jemariku.

“kacamata . . . kacamata gue mana?” teriakku mulai panik

“nih pake kacamata gue dulu!”ujar Mili seraya memasangkan kacamatanya kepadaku.

Baru akhirnya bisa kulihat semuanya lebih jelas. Kaca-kaca dan dinding kampus yang tinggi menjulang tiba-tiba kembali lagi di depanku. Sepertinya aku telah kembali ke dalam dunia yang aku kenal. Wajah-wajah sahabatku yang sedari tadi berada di sisiku. Mili yang mungil, Rino selalu tersenyum lebar, selebar tubuhnya memang agak lebar, Wira dengan rambut kelimisnya, dan Bani, si cina kriting. Ku lihat menatapku cemas. Apalagi Mili, ia terlihat sedikit shock dengan tissue-tissue penuh darah di tangannya.

“kacamata lo remuk Def! edaaaan si Fadil, preman beneran dia!” komentar Wira sambil menunjukkan kacamataku yang sudah tak berbentuk.

“Denger-denger dia kena DO gara-gara kasus tawuran mahasiswa kemaren” sambung Bani.

“hah DO lo bilang? Kapan?” tanyaku kaget.

“iya baru tadi pagi, heboh tuh tadi anak-anak ngebahasnya. Soalnya yang bikin tawuran tuh Ario, tapi dia yang kena DO hehehe… ”

“aaaaah udahlah yang penting tau ngga Def, Malika ngasih lo ini!” teriak Rino heboh sambil menunjukkan sebuah saputangan pink di tangannya.

Aku hanya terdiam membisu membiarkan semua sorak sorai mereka terhadapku. Ku tatap saputangan pink dengan aksen bunga-bunga cantik yang mewakili sosok Malika. Ku raih saputangan itu, kuhapus semua darah-darah yang membasahi hidung dan bibirku, kemudian ku buang saputangan malika ke tempat sampah. Lalu ku kembali duduk bersama keempat sahabatku yang masih bengong kebingungan melihatku.

“jadi tadi kita ngobrol sampe mana?”

End

2 komentar:

  1. yang ini agak tulisannya agak bukan aku banget cz ini request dari orang buat film hahahaha tp gapapa buat eksperimen...dan sampe sekarang aku lupa judulnya apaan

    BalasHapus