Selasa, 24 Mei 2011

Ayudiah

Ayu Diah namanya. Dulu dia adalah kembang desa itu. kulitnya kuning langsat, tubuhnya tampak lebih matang daripada usianya yang belum genap 15 tahun. Rambutnya yang hitam dan panjang itu selalu di gerai, bergelombang seperti ombak di laut yang bergulung-gulung, kadang-kadang juga dihiasi bando warna merah jambu yang dibeli emaknya di pasar malam. Hidungnya memang tidak bangir, tapi itu tampak serasi dengan wajahnya yang oval dan bibirnya yang bulat. jika para lelaki di desa menggodanya, ia akan tersenyum tersipu manis sekali.

Di sekolah banyak sekali sekali yang mengiriminya surat berisi puisi-puisi picisan, tapi tak satu pun pernah ia tanggapi serius. Keinginannya hanya satu, lulus sekolah dan segera bekerja agar menjadi kaya. Ia tidak mau seperti emaknya, yang kusut dan kumal dan bau minyak urut. Emaknya adalah tukang pijat keliling, tapi kalau sedang sepi panggilan emaknya sering berjualan di pasar. Ayu tak tahu apa yang dijual emaknya, tapi setiap kali emaknya pergi ke pasar selalu saja ada bajunya yang hilang atau buku-buku sekolahnya. Tapi ia tidak terlalu ambil pusing, karena ia juga tidak begitu menyukai buku-buku itu. yang ia sukai adalah duduk di depan kaca dan menyisir rambutnya yang terkadang suka berkutu, sambil mendengarkan radio milik bapaknya dulu, begitu kata emak. Ia sendiri tak pernah ingat wajah bapaknya, yang sudah 10 tahun lebih tak ia temui. Kata emak, bapaknya sudah mati tapi tidak begitu kata kai odah, tetangganya.

“Bapakmu sudah kabur bersama perek itu!”

Ketika ia tanyakan kepada emak, yang ia dapatkan hanyalah dengusan dari emaknya yang langsung tidur memunggunginya. Terpaksa ia lupakan rasa ingin tahunya itu, toh bukan itu yang ia inginkan sekarang. Dia ingin seperti mbak Sri tetangganya yang baru datang dari luar negeri, tapi bau tengik. Gelang-gelang emas yang melingkar di tangannya amat banyak, bunyinya “cring-cring” merdu sekali. Katanya itu memang emas asli makanya bisa berbunyi merdu, tidak seperti gelang emas imitasi miliknya. Gelang pemberian Tarjo tetangga depan rumahnya, si penjual buah di pasar yang cinta mati padanya, tapi gembel dan ia tak suka gembel. Ia mau seperti fitri, di sinetron kesukaanya atau seperti mbak Sri tapi tidak pakai bau tengik. Ia ingin kaya.

“oalaaaahhh yu, sudah kamu ikut aku saja jadi TKW ke Malaysia. Lihat, aku kerja 4 bulan sudah bisa beli gelang 10 sama kalung 2”

“ndak boleh sama emak, mbak sri. Katanya disuruh lulus sekolah dulu”

“hwalaaaah kelamaan, ini mumpung ada kesempatan loo”

Ayu terdiam. Ia ingin ikut mbak sri ke Malaysia dan menjadi kaya. Tapi emaknya tak pernah memberinya izin, dan malah memarahinya. Emak juga tidak pernah memujinya seperti yang orang-orang lakukan. Emak selalu menyuruhnya belajar supaya masuk ke MAN. Padahal dia sudah capai untuk belajar, bagaimanapun ia belajar nilai tetap tidak lebih dari angka 5. Pernah mendapat nilai 7 sekali itu juga pelajaran olah raga.

Malam itu setelah emaknya marah-marah lagi, diam-diam ayu diah mengemasi baju-bajunya. Ia akan pergi ke Malaysia besok pagi-pagi sekali. Mbak Sri bersama teman-temannya akan berangkat naik bis ke Jakarta lalu naik kapal dari tanjung priok ke batam, dari batam baru naik kapal lagi ke (XXX) Malaysia. Lalu ia akan pulang dan dengan bangga ia pakai gelang-gelang emasnya di kedua tangannya, kalung emas, anting-anting emas tapi tidak bau tengik seperti bau mba sri. Emak pasti tidak berani marah-marah kepadanya lagi, orang-orang di desa apalagi. Ah mungkin dia malah sudah tak tinggal di desa lagi, dia akan tinggal di kota, lalu hidup seperti fitri di sinetron kesukaannya. Pakai bajunya bagus-bagus, tidur saja bajunya juga bagus, dan kemana-mana naik mobil sedan, bukan sepeda butut seperti miliknya itu.

Ia tidak pamit kepada emaknya, ia hanya menuliskan sebuah surat. Ia tidak begitu pandai merangkai kata-kata, jadi isinya cuma kata-kata pamit yang biasa ia ucapkan ke emak. Ia masukkan surat itu ke dalam amplop bekas surat-surat cinta Tarjo. Ia buang isinya dan ia ganti suratnya. Lalu ia pergi.

Di tengah hari, saat matahari masih bersinar hujan tiba-tiba turun cukup deras, sehingga orang-orang semuanya berlarian sembunyi dari air yang turun dari langit. Kecuali si gadis muda, dia masih saja duduk di pelataran rumahnya. Bermain-main dengan beceknya tanah yang baru saja basah. Perutnya membesar, karna ia sedang bunting 7 bulan, kakinya penuh dengan bekas-bekas luka yang menghitam, pipinya ada bekas jahitan kasar yang masi timbul, rambutnya pun acak-acakan. Lal seorang wanita tua keluar dari rumah dan segera membawa gadis bunting itu masuk ke beranda, gadis itu berteriak-teriak histeris, dan menangis.

Baru 6 bulan lalu gadis itu datang ke desa diantar oleh mobil ambulans. Di tangannya sudah penuh dengan balutan perban bekas luka bakar, kakinya di gips, yang satunya lagi di plester. Kata dokter sih itu bekas sayatan-sayatan pisau, lalu dokter juga menjelaskan kondisi janinnya yang lemah dan harus dijaga untuk mengindari keguguran.

Nyi Imah memeluk gadis itu erat-erat, diciuminya, di dekap tapi gadis itu tak membalasnya. Ia hanya memandangi wanita tua itu, lalu menangis dan terus menangis hingga ia tertidur di pangkuan nyi imas.

Semua tetangga-tetangganya segera mencari-cari sumber suara keributan. Termasuk Tarjo, lalu ia melihat miris dan kembali masuk ke rumah. Ia tak tega melihat Ayu diah, wanita pujaanya. Ayu diah yang yang selalu menjadi sumber inspirasinya membuat puisi-puisi roman. Ayu diah, si cantik nan molek yang empat tahun lalu ia selalu curi-curi pandang, namun sekarang meliriknya saja enggan.

1 komentar: